VIVA JKT48: Menitipkan JKT48 Ke Sineas
Terlalu retoris menanyakan apa saya bakal nonton VIVA JKT48 meski lagi memutuskan ndak JKT48an dulu. Ya terpaksa dengan senang hati bisa
JKT48an lagi. Terpaksa karena harus menepati janji untuk memberikan review film
perdana group 3 huruf 2 angka ini yang direquest salah seorang teman. Teman
yang masih menganggap saya sebagai salah satu barisan Ruhut Sitompul-nya
dedek-dedek urban group itu, entah apa yang diharapkan dari review ini.
CAST
Pemain utama yang dipilih tetap member pilihan versi JKT48
Operation Team (manajemen idol group ini). Seperti biasa member yang itu-itu saja, kecuali Rona Anggreani. Etapi
Rona dulu pernah sempat jadi member pilihan versi JOT juga deng sebelum negara
api menyerang. Lebih kecewanya lagi kok masih ae kerasa Melody-sentris, arep
diapakne maneh mas lah wong dia memang centernya yang abadi berjuta tahun
cahaya teruslah engkau bersinar. Saking terlalu pragmatisnya dengan formasi member
yang masih itu-itu saja, penemu pemikiran pragmatis William James pun bisa minder neh.
Dari 8 member yang
dipilih jadi pemain utama entah sengaja atau ndak, beberapa punya kemubadziran karakter.
Ada tempuk leader antara Melody Nurramdhani versus Shinta Naomi dan yang jelas kalau lagi ndak sibuk
pacaran sih Melody akan sulit untuk dikalahkan atau memang disabdakan ndak boleh
mengalah. Naomi mau ambil seksi-seksian? Sudah keduluan sama Shania Junianatha yang memang
paling konsisten dari awal. Dikomparasikan dengan member yang lain bahkan
dengan Melody sekalipun, Shania masih unggul, ekspresinya terbaik, auranya ada,
ntap lah. Ada lagi triple karakter loli yang dibawa Haruka Nakagawa, Ayana Shahab, dan Cindy Yuvia. Mau
menonjolkan Haruka? Gagal, dari dia ndak muncul ketawa sama sekali, kecuali pas blooper scene di credit title. Haruka itu lucunya kalau spontan bukan dari ngetext-book. Bahkan kalau boleh jujur Haruka sedikit bikin annoying dengan artikulasinya yang masih belepotan menyaingi Ayu Dewi. Tapi untuk mau mempelajari Bahasa Indonesi, dia masih layak untuk dihargai. Lalu Yupi mau dibuat apa? Sekeluar
bioskop, saya hampir lupa kalau ada dia. Porsi loli-lolian kali ini dilahap Ayana,
nggemesinnya terpampang nyata sepanjang film. Nabilah Ratna Ayu sama Rona juga sebenarnya
berebut karakter rocker nyablak, untung eksekusinya masih tampak seimbang, JOT
pun mungkin ndak nyangka Rona bisa mengimbangi Nabilah. Alangkah terpujinya mas Awi
Suryadi jika saja bisa mengembangkan lagi karakter member-member yang dipilih
jadi pemain utama itu daripada mbleber asik mengembangkan karakter tokoh
antagonisnya.
Member-member pemain utama yang karakternya tenggelam harus
ikhlas jika akhirnya diregresi dan disamakan fungsinya dengan member-member cameo
yang muncul di 1/4 penghujung film, yang hanya dimunculkan sebagai penyejuk mata yang
numpang lewat. Lebih ngeheknya, Jessica Veranda yang ngevoor hanya muncul sebagai cameo ini ikutan tega menenggelamkan teman-temannya itu lebih dalam lagi.
Apresiasi tinggi layak diberikan kepada pemeran trio fans
yang jadi juru selamat member, semua fans yang rela ikut syuting tanpa dibayar,
juga buat komika-komika seperti Soleh Solihun, Babe Cabiita, Muhadkly Acho,
Mongol, dan Mudy Taylor yang justru memberikan pembeda di film ini.
Terimakasih.
STORYLINE
Tanpa spoiler, cerita usang fiksinya pun sebenarnya sudah ketebak kok dari trailernya. Sudah
ketebak bukan berarti film ini dari awal sampai akhir bakal membuat siapapun
yang nonton setiap saat selalu kan terus memperhatikan handphone. Permainan joke-joke segar, gimmick dan ekspresi, serta perform
member yang dibuat out of the box masih layak untuk mendapatkan perhatian. Kalau yang nonton diposisikan sebagai fans, ceritanya
termasuk padat. Payahnya itu malah seakan mempersilahkan plot hole antar scene berserakan
di mana-mana, keberlanjutan yang ndak wajar, loncat-loncat ndak karuan. Bayangin dengan durasi
yang katanya cuma 1 jam 30 menit (tapi pas saya hitung sendiri malah cuma 1 jam
20 menit) sangat ajaib bisa memuat banyak dari cerita perjuangan member (at least saya jadi kebawa ingat
sama perjuangan mereka di awal-awal kebentuknya JKT48 dulu, beda kondisi sih), beberapa
kegiatan idoling, nyentil beberapa golden rules, loyalitas fans, hubungan 2
arah (yang diharapkan) antara fans dengan member, kegsrekan fans, sampai
sempat-sempatnya nyisipin pesan moral dan nasionalisme.
Dari cerita itu semua ndak usah diperdebatkan lagi, sudah
jelas kok film ini targetnya memang buat fans JKT48 yang didominasi remaja. Awi
Suryadi sendiri toh sudah bilang konsepnya drama komedi remaja dan tujuannya bikin dunia JKT48 sendiri. Siapa yang dapat memahami dan mudah diarahkan ke
tujuan itu? Jelas fans JKT48. Lagian beberapa istilah idoling (seperti wota,
oshi, golden rules, handshake, dsb) juga ndak dijelaskan secara detail di
filmnya.
Untuk beberapa cerita yang ndak masuk akal mending ndak usah
dibahas di sini ya. Pinjam saja pembelaan ending The Raid 2 kok bisa bersalju,
toh namanya juga film bro. Kalau tetap kekeuh mau dibahas, biarkan purist JKT48
saja yang membahas detail sampai ke akarnya, saya ndak ikutan.
SETTING
Prinsipnya ndak perlu susah ngeset tempat untuk dapat view
bagus, hemat budget bro, ngejar prinsip ekonomi. Cukup butuh kandang komodo, ruang apartemen yang
dipasangi atribut merch JKT48, Lawson yang notabene partner sponsor mereka, Taman
Suropati yang ndak diapa-apain, theater yang juga ndak diapa-apain, dan rooftop
gedung yang ada tiang benderanya. Budget setting terboros palingan terbuang
untuk bikin stage konser di Bumi Perkemahan Cibubur dan
mungkin untuk menyewa konsultan akuntan.
Penghematan juga tampak di set wardrobe. Selain seifuku (seragam mereka yang buat nari-nari itu), human uniform yang dipakai member beberapa merupakan baju pribadi member sendiri. Kok tau? Lah wong pernah sudah pernah dipakai di beberapa event. Baju yang dipakai trio fans yang jadi pendamping member juga diendorse dari swag official JKT48 sendiri. Wardobe paling boros mungkin untuk mendadani Ayu Dewi.
Untuk urusan sound ndak ada masalah yang serius, cuma ada
sedikit kendaksinkronan beberapa chant pas overture konser. Oiya saya suka banget pas Heavy
Rotation dibikin semacam instrumen untuk mengisi music scoringnya. Selebihnya beberapa lagu JKT48
belum begitu dimaksimalkan, atau Awi Suryadi taunya cuma lagu yang itu-itu saja.
SINEMATOGRAFI
Ndak ada pengambilan scene yang dibikin rumit sih, semuanya masih dalam kategori sederhana. Sepertinya mas Awi Suryadi tau dasarnya mata penonton ini sudah dijamin akan termanjakan. Tuhan ndak
buat kebetulan sebagai alasan, ada part di mana fokusnya jelas dan dibuat
sengaja diarahkan ke paha member. Cukup konfrontatif, kontrovesial, dan itu bukan scene favorit kok.
Scene favorit mutlak disematkan kepada gerombolan fans
dengan nyala lightstick di tangan merangsek masuk area konser diguyur
hujan mendadak ndak berhenti. Scene itu sangat mengharukan, membuat saya reflek ikut
ngechant dan entah dari mana kepalan tangan seakan terangkat tinggi di dalam
theater bioskop.
Untuk yang paling mengganggu dan membingungkan di sini adalah pergantian scene pas adegan konser dibagi dengan adegan di theater.
ANIMO PENONTON
Ini juga perlu saya review. Di bioskop termahal se-Malang
tempat saya nonton (sengaja dengan berbagai pertimbangan), penontonnya penuh se-theater, asik-asik, dan paling penting
ndak ada yang bau ketek. Banyak fangirlnya pula, jadi kesannya ndak kayak
sekumpulan cowok yang berencana ngeloco massal di bioskop. Mereka juga ndak malu
untuk ikutan ngechant meski tanpa lightstick. Mungkin mereka takut mengganggu
penonton lain kalau mengeluarkan lightstick yang saya yakin tersembunyi
di beberapa tas mereka, di kantong celana saya juga. Justru yang ngganggu malah mbak-mbak yang jaga pintu, duh
kok mainan lampu senter ae mbak, tak pacarin loh sampeyan mbak.
Yowes lah daripada tambah bikin sakit hati yang sudah capek
bikin film, mungkin segitu saja review-nya. Mulailah dengan ndak
berekspektasi apa-apa sebelum menonton film yang dikerjakan dengan terlalu
buru-buru (syuting cuma 2 minggu, editing cuma 1 bulanan) dan pelit budget ini. Percayalah, semua yang tersaji di film ini hanyalah titipan
JOT yang mengekang si pembuat film. Ndak enak kan kalau dikekang?
Ngeloco masal di studio :p
ReplyDeletePAHA !
*ini ceritanya saya jadi korban diseret pacar yang lagi kepo nonton Jeketi*
oh pacar sing iku ya? wes dadi pacar maneh?
DeleteIya mas hehe
Deletenice review bro
ReplyDeleteeng..... but gw gak setuju ngloco di bioskopnya
wa juga ndak setuju kok mas,
Deletecoba dibaca lagi, wa justru malah mau mematahkan asumsi negatif itu :)